Header Ads

Breaking News
recent

Pesantren Jadi Tulang Punggung Swasembada Sapi


USAHA peternakan sapi, menjadi model pengembangan ekonomi Pondok Pesantren Fathiyyah Al-Idrisiyyah atau kini lebih populer dengan sebutan Pontren Fadris di Pageningan, Kab.Tasikmalaya. Tentu dengan pertimbangan besarnya peluang pasar sebagai potensi, pengBeberapa unit gedung pendidikan menempati kompleks pesantren yang total luasnya 4 hektar. Puluhan meter menuju belakang kompleks pesantren, bangunan peternakan ditempatkan di antara kolam-kolam peternakan ikan. Pengembangan usaha peternakan sapi dimulai sekitar 2 tahun lalu. Jumlah ternak sapi peliharaannya terus bertambah dan kini tak kurang 45 ekor yang terdiri jenis sapi-sapi besar benih hasil perkawinan lokal dengan sapi Australia. Beberapa sosok pekerja tampak begitu serius di kandang sapi, selain terdiri santri juga warga setempat yang sekaligus sebagai pekerjanya.

Dari sejumlah sapi milik pesantren tersebut di antaranya dipelihara di luar oleh warga. Terutama dalam pola pemeliharaan yang sekaligus menjadi ladang pekerjaan warga. Sedangkan yang di pesantren dilokalisir menempati bangunan khusus pada lahan tak kurang 200 bata. 10 ekor dari 45 ekor sapi tersebut adalah sapi perah. Setiap ekor sapi perah menghasilkan antara 18 – 20 liter susu setiap harinya atau rata-rata menghasilkan 15 liter susu per ekor setiap harinya dengan harga Rp 4.500 per liter kepada penampung susu daerah setempat.

Bila melihat konsep pemeliharaan penggemukan, yang mungkin memerlukan investasi lama hingga mencapai bobot yang ditargetkan yakni selama 6 bulan, dibenarkan Nunang Fathurrahman, MAg, Ketua Harian Yayasan Al Idrisiyyah, memerlukan biaya pemeliharaan tak sedikit untuk ukuran aktivitas pesantren. Menurutnya untuk masa pelihara penggemukan selama 6 bulan itu memerlukan investasi Rp 5.000 sehari untuk memenuhi kebutuhan operasional pemeliharaan.

Nilai uang tersebut dikalikan jumlah hari selama 6 bulan dikalikan puluhan ekor sapi, tentu angkanya menjadi besar. “Untuk konteks ini kami memang lebih memaknainya sebagai cost operasional pendidikan unit peternakan. Namun bukan berarti usaha ini rugi kecuali lamanya memetik hasil panen dan selanjutnya kondisi ini telah disiasati sehingga benar-benar usaha penggemukan menguntungkan. Kebutuhan dana tersebut tersubsidi dari pemeliharaan sapi perah yang menghasilkan produksi susu setiap hari dan memang diproyeksikan untuk membantu usaha penggemukannya,” kata Mursyid Al-Idrisiyyah.

Untuk dana operasional pemeliharaan sapi perah dalam setiap harinya, setiap ekor menghabiskan Rp 9.000. Sedangkan dari hasil produksi susunya dalam sehari setiap ekor bila dikalikan dengan harga jualnya tadi mencapai Rp 67.500. Selisih pendapatan tersebut seterusnya dikonversikan untuk memenuhi kebutuhan usaha penggemukan. Sedangkan angka pendapatan dari usaha penggemukan yang setiap harinya rata-rata per ekor tumbuh menghasilkan daging sekitar 80 ons bila dikalikan harga per kg daging sapi antara Rp 19.000 hingga Rp 20.000, ini pun masih ada selisih lebihnya dibanding cost operasional pemeliharaan yang harus dikeluarkan dan rata-rata menghabiskan Rp 5.000/ekor per hari.

“Harapan lembaga di sini menghasilkan lulusan yang tak saja memahami ilmu agama untuk dirinya hingga menjadi pemuka agama pada lanjutannya, ia juga dapat meniti hidup secara mandiri bahkan mampu secara ekonomi,” . Di satu sisi, lanjutnya, kemantapan ekonomi tak dilarang oleh Islam, sebaliknya kecukupan yang relatif secara ekonomi bisa membuat umat kuat ketika dibarengi dengan pemahaman nilai agama dalam dirinya juga kuat. Sebaliknya ada keterangan agama yang menyebutkan, kefakiran dekat dengan kekufuran bila kurang kuat fondasi imannya.

Tapi kembali yang ingin diharapkan lembaga ini, katanya, menghasilkan lulusan yang berkemampuan dalam bidang agama dibarengi kemampuan memanage hidup dalam ukuran mampu membangun ekonominya. Nunang mengakui, konsep dasar menghasilkan lulusan berkemampuan secara ekonomi, terdorong “nafas” Tarekat Idrisiyyah yang berkembang di pesantren ini dan menganggap perlu, umat kuat secara ekonomi. Hasil pendapatan usaha, seterusnya membiaya kegiatan pendidikan sementara semangat dan kemampuan mengolah ekonomi menanami peserta didik. “Selepas berakhirnya pendidikan, kelak apa ya sumber ekonomi hidup saya. Pemikiran-pemikiran seperti ini yang kerap kita tangkap dari anak didik di sini saat menjelang mereka meninggalkan pesantren, meski paling tidak itu sebatas semangat,”

Selain usaha peternakan sapi, di Pontren Fadris juga berderet sumber-sumber kegiatan ekonomi yang sekaligus pusat praktek unit usaha pesantren dan selama ini pun beroperasi sebagai aset “menghidupi” aktivitas lembaga, seperti ada juga unit usaha perikanan, agribisnis dengan usaha tanaman hias dan tanaman obat-obatan, kemudian toserba, wartel, produk air isi ulang, penjualan koleksi seni (kaligrafi), aksesoris ponsel, jasa shooting film serta rumah makan.

Selain santri, di bidang-bidang unit usaha itu terlibat pekerja warga sekitar. Untuk mendorong efektivitas hasil belajar santri menuju keahlian dan karir prestasinya, sejak lulus jenjang SLTA diarahkan mengikuti pendidikan keahlian khusus berdasarkan penilaian kemampuan dan bakat kuatnya. “Jadi kami tak saja menghasilkan lulusan pesantren yang hanya puas dengan bisa berpidato atau dakwah, tapi bagaimana menghasilkan lulusan berwawasan agama juga mampu mengelola hidup memenuhi kebutuhan ukhrowi –duniawinya,” kata Mursyid Idrisiyyah.


Sumber
loading...

No comments:

Powered by Blogger.