Header Ads

Breaking News
recent

Kampung Sapi: Kekuatan Swasembada Daging Indonesia


Dari depan gapura terlihat sebuah jalan kecil berlapis semen dengan pagar hijau-putih di kanan-kirinya. Sepintas, jalan yang cukup resik itu tampak seperti jalan kampung atau kompleks perumahan. Namun, tulisan di plakat gapura cukup menjelaskan bahwa pemukiman itu bukan untuk ditinggali manusia.

Itulah sedikit gambaran mengenai Kampung Ternak Sapi yang dikelola oleh Kelompok Peternak Sapi “Sidorejo” di dusun Sulang Kidul, Patalan, Jetis, Bantul.

Teguh Hadi Pranoto, warga setempat yang juga anggota kelompok peternak, menuturkan asal mula kampung ternak sapi tersebut. “Pada tahun 1992 ada lomba dalam bidang kesehatan di tingkat kabupaten. Pemerintah desa pun menindaklanjutinya dengan membuat kandang. Saya pun ikut sejak awal,” kisahnya.

Pada waktu itu warga Sulang Kidul masih menempatkan kandang ternak mereka di pekarangan rumah masing-masing. Demi kesehatan, kandang-kandang milik warga ditempatkan dalam satu lokasi yang tidak jauh dari pemukiman mereka.

Seingat Teguh, pertama kali anggotanya baru 20 KK (Keluarga kandang) dan sekarang mencapai 54 KK. Rata-rata satu kandang berisi dua atau satu ekor sapi. “Kalau dulu bisa banyak. Sekitar empat sampai lima ekor. Sekarang jumlahnya turun sejak harga merosot karena pemerintah mengimpor sapi dari luar negeri. Akibatnya harga sapi pun menurun,” ucap Teguh mengeluh.

“Seharusnya pemerintah tidak usah impor. Lebih baik menggalakkan peternakan yang dikelola rakyat,” imbuhnya memberi saran.

Sekarang, Teguh hanya memiliki dua ekor sapi. Ia mengaku dulu sempat punya delapan ekor namun sebagian dijualnya.
Teguh lalu mengungkapkan bahwa peternakan tersebut mengkhususkan diri pada sapi indukan, bukan sapi potong untuk konsumsi. Jadi semua sapi yang ada dalam “kompleks” tersebut adalah betina. “Tidak ada sapi jantan karena semua sapi di sini menghasilkan pedhet lewat kawin suntik,” jelas teguh.

Pedhet (anak sapi) baru akan dijual setelah berumur 3-4 bulan. Sementara induknya baru akan dijual atau ditukar kalau sudah melahirkan lima pedhet. Kalau mau beli sapi baru, sapi tersebut harus sudah siap kawin dengan umur antara 1-1,5 tahun.

“Pada waktu mengawalinya dulu sebenarnya kami mengusahakan sapi potong. Tapi jangkauan pemasarannya sulit. Selain itu dalam waktu tiga bulan target harus sudah terpenuhi. Kalau indukan hasilnya dapat dinikmati setiap tahun, sehingga lebih santai,” papar Teguh.
Teguh mengakui bahwa kendala yang dihadapi peternak jika mengusahakan sapi potong adalah di pemasaran. Peternak selalu kalah dengan pedagang. “Kami tidak punya posisi tawar,” tandas Teguh trenyuh.

Sebagai gambaran, seekor sapi potong hidup per kilogram dihargai antara 20 ribu hingga 23 ribu rupiah. “Jika dihitung-hitung, peternak tetap rugi. Meski indukan baru menghasilkan setiap satu tahun sekali, peternak justru untung. Padahal merawatnya lebih santai,” tegas Teguh.

Hal itu disebabkan oleh harga jual pedhet yang relatif tinggi. Harga untuk satu ekor pedhet yaitu dua sampai tiga juta. Paling tinggi sekitar empat juta. “Tapi rata-rata laku dua jutaan. Bahkan dulu bisa tembus tujuh jutaan,” sebut Teguh.
   
Selain dari hasil menjual pedhet, para peternak juga mendapat keuntungan dari sampingan. Kotoran sapi dijadikan kompos oleh kelompok untuk dipasarkan. Hasilnya secara tidak langsung diberikan kepada anggota, yaitu ongkos kesehatan sapi digratiskan karena sudah dibayar oleh kelompok. Jadi tidak membebani peternak.

Dalam urusan kesehatan sapi, ada mantri dari dinas peternakan Barongan. “Tapi kadang ada dokter hewan dari luar. Karena kalau menunggu petugas dari dinas harus pada jam kerja,” terang Teguh.
Setiap tiga bulan sekali, yaitu pada tanggal 17, ada Posyanduwan (Pos Pelayanan Terpadu untuk Hewan) yang secara rutin memeriksa kesehatan induk dan pedhet.
Kemudian para peternak mengadakan pertemuan setiap Minggu Pahing di aula yang berada di sebelah selatan kandang.

Mengenai nama Jamsostek yang termuat dalam plakat, Teguh menjelaskan, “Pihak Jamsostek mensponsori dan memberi bantuan, antara lain membuatkan pagar. Setelah gempa, Jamsostek menolong warga dan memberi bantuan berupa sapi.”

Sumber
loading...

No comments:

Powered by Blogger.