Header Ads

Breaking News
recent

Lumbung Desa: Kearifan Lokal Dalam Swasembada Pangan


Di beberapa daerah di tanah air sistem lumbung masih ada yang bertahan. Di tempat-tempat tersebut, lumbung dimaknai lebih dari sekedar bangunan fisik untuk menyimpan padi atau bahan natura lain. Pada beberapa latar budaya, lumbung memiliki signifikansi sosial yang cukup kental, bahkan dikeramatkan dan hanya dapat dimasuki atas kesepakatan adat...

Sumber

Gambaran yang meperlihatkan para petani memanggul untaian padi menuju sebuah bangunan besar di pusat desa atau lumbung, telah menjadi potret klasik dunia pertanian dewasa ini. Kearifan lumbung semakin memudar. Padahal sistem lumbung bisa menjadi cara bertahan para petani dari krisis pangan, rentenir dan memenuhi kebutuhan benih.

Sistem lumbung sebagai pusat cadangan pangan, terutama di kawasan pedesaan, kini semakin sulit ditemukan. Sisa kearifan pengelolaan pangan itu terkikis oleh perubahan tuntutan hidup, dimana kepraktisan menjadi salah satu dasar perhitungan. Saat ini akses perekonomian di pedesaan sudah cukup maju, sehingga kredit pedesaan dalam bentuk innatura mudah didapat dan banyak ragamnya. Keputusan pemerintah untuk mengambil alih fungsi lumbung dengan mendirikan BULOG, yang berperan sebagai “lumbung nasional”, semakin menyurutkan peran lumbung sebagai salah satu pengejawantahan kemandirian petani.

Namun, di beberapa daerah di tanah air sistem lumbung masih ada yang bertahan. Di tempat-tempat tersebut, lumbung dimaknai lebih dari sekedar bangunan fisik untuk menyimpan padi atau bahan natura lain. Pada beberapa latar budaya, lumbung memiliki signifikansi sosial yang cukup kental, bahkan dikeramatkan dan hanya dapat dimasuki atas kesepakatan adat. Di sisi lain, masih ada kalangan yang memaknainya secara konvensional sebagai lumbung paceklik atau lumbung pangan yang kegiatan utamanya adalah simpan pinjam dalam bentuk natura saja. Padahal sistem lumbung bisa dijadikan institusi ekonomi tingkat pedesaan yang juga menangani kredit petani, distribusi dan fungsi logistik yang cukup andal.

Ide Residen Cirebon
Ditilik dari sejarahnya, ide lumbung desa ternyata sudah berumur tak kurang dari seratus tahun tahun! Inisiatif untuk mengembangkan bangunan lumbung desa ini dimulai tahun 1902 oleh Messman, orang Belanda, yang saat itu menjabat sebagai Residen Cirebon dan Sumedang (Jabar). Gagasan tersebut dipantik oleh kekhawatiran Messman akan kemungkinan terjadinya kerawanan pangan di daerah yang dipimpinnya. Dalam pemikirannya, apabila para petani memiliki tabungan padi atau gabah maka pada masa-masa paceklik kebutuhan pangan mereka akan tetap tercukupi.

Ide Messman disambut positif oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga kemudian terdapat sebuah institusi khusus yang membina lumbung desa secara intensif ,yakni Dienst voor Volkscreditwiysen (Dinas Perkreditan Rakyat). Dinas tersebut bernaung di bawah Departemen Pemerintahan Dalam Negeri Pemerintah Hindia Belanda saat itu.

Sejarah terus bergulir dan membawa nusantara menjadi negeri merdeka. Namun gagasan Messman tetap memperoleh ruang untuk terus dijalankan. Malah keberadaan lumbung desa semakin berkembang seiring dikeluarkannya Inpres Bantuan Pembangunan Desa (Bangdes), pada tahun 1969. Lumbung desa, baik yang dibangun atas prakarsa dan swasembada desa maupun bantuan pemerintah, pesat bermunculan di berbagai pelosok dan banyak diantaranya masih bertahan hingga paruh awal tahun 1990-an. Berdasar catatan Direktorat Jenderal Pembangunan Desa (Ditjen Bangdes) tahun 1993-1994 diketahui masih terdapat 12.655 lumbung desa yang terutama terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Madura.

Jauh sebelumnya, upaya pembinaan lumbung desa secara fungsional pernah dibakukan berdasar Surat Keputusan (SK) Mendagri No. 72/1981. SK tersebut merupakan tindak lanjut dari Keppres No 44 dan 45 Tahun 1974, yang telah disempurnakan dengan Keppres No 62 Tahun 1980. Pelaksanaan Keppres tahun 1974 itu diatur dalam Instruksi Mendagri No 33/1978 tentang Pembinaan Pengelolaan Usaha-usaha Perekonomian Desa.

Ketahanan Pangan
Lumbung dipandang sebagai model perangkat ketahanan pangan masyarakat desa yang cukup efektif. Akan tetapi seiring dengan masuknya model-model kelembagaan lain yang terlebih dahulu berkembang di daerah perkotaan, eksistensi lumbung desa makin menyurut. Daya tahan keberadaan lumbung desa sebetulnya terletak pada kehidupan sosial dan semangat gotong royong yang mendarah daging dalam masyarakat. Oleh karenanya pertumbuhan lumbung desa di Indonesia akan terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan perilaku yang terjadi di masyarakat.

Di beberapa daerah, lumbung desa juga dikenal sebagai lumbung paceklik, yang umumnya ditujukan untuk membantu mengatasi kerawanan pangan bila muncul paceklik, sebagai bank padi atau gabah dan membantu warga desa yang terkena musibah. Masyarakat yang menjadi anggota lumbung juga dibiasakan untuk hidup hemat dan suka menabung sekaligus juga belajar berkoperasi.

Lumbung desa didirikan karena kehidupan sosial ekonomi masyarakat bertumpu pada bidang pertanian. Sektor ini sangat dipengaruhi iklim. Bila suatu saat iklim tak mendukung, misalnya terjadi musim kemarau panjang, banjir, hama penyakit yang bisa menimbulkan rawan pangan, peranan lumbung desa sangat diharapkan untuk menopang kehidupan petani.

Tumbuhkan kearifan
Dalam buku petunjuk yang diterbitkan Ditjen Bangdes awal November 1992 disebutkan, modal lumbung desa beragam jenisnya. Modal awal dapat diperoleh dari penyisihan sebagian harta kekayaan desa yang dicantumkan dalam Anggaran Penerimaan Pengeluaran Keuangan Desa (APPKD). Bisa juga dari bantuan atau pinjaman dari pemerintah, sebagian dari keuntungan hasil usaha ekonomi desa yang jumlahnya ditentukan lewat keputusan LKMD, atau pinjaman dari pihak ketiga yang tidak mengikat dan lain sebagainya.

Jadi, berdasarkan perolehan modal tersebut, fungsi lumbung desa bisa sebagai pengelola dan penyalur simpanan pangan dimusim paceklik ataupun ditingkatkan sebagai pengelola perkreditan bahan pangan.

Dari kajian yang dilakukan oleh PT Pusat Pengembangan Agribisnis (1994), pertimbangan dalam pemilihan pengadaan sarana lumbung desa menyangkut beberapa hal. Pertama, jenis sarana yang dibangun sendiri dengan usaha yang dikelola oleh lumbung desa tersebut. Kedua, lebih memanfaatkan barang modal/aset masyarakat yang tersedia yang dapat dimanfaatkan secara murah dan luwes. Ketiga, sesuai kemampuan permodalan lumbung desa dan jangka waktu kebutuhan. Keempat, sedapat mungkin sesuai dengan perhitungan kelayakan atau manfaat investasi yang akan dilakukan.

Mengaktifkan kembali sistem lumbung memang bukan perkara mudah. Pedoman atau petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang selama ini selalu bersifat top down, agaknya perlu direformasi. Kembalikan saja pada sistem di pedesaan. Petani mengelola sendiri atas musyawarah dan mufakat mereka, tanpa rekayasa dan berdasar kebutuhan faktual mereka. Dan biarkan kearifan pangan kembali tumbuh di kalangan petani.



Lumbung Desa Akan Diaktifkan
   
Badan Ketahanan Pangan (BKP) Grobogan akan gunakan Rp1.525.075.000 untuk mengaktifkan lumbung desa. Dan tersebut akan diambil dari DAK dan Pendampingan 2011, dan juga dari APBD dan sharing desa2010.

Dikatakan Kepala BKP Grobogan Hidayat pembangunan 23 Lumbung Desa di tahun ini terbagi dalam dua kategori pendanaan. Lumbung Desa yang dibangun dengan menggunakan DAK (Dana Alokasi Khusus) di Tahun 2011.

”Dan secara keseluruhan lumbung yang dibangun dengan menggunakan DAK sebesar Rp 86,4 juta. Yang harus disertai juga dana pendampingan dari masyarakat sebesar sekitar Rp 7, 8 juta per desa,” kata Hidayat kemarin (19/8).

Saat ini teridentifikasi lumbung pangan yang dibangun dari DAK dan pendampingan 2011 sebanyak 11 desa yang tersebar di 9 Kecamatan. Rencananya lumbung tersebut berukuran 5x9 meter dengan kapasitas 60 Ton.

”Keadaan saat ini masih dalam proses pekerjaan, dan direncanakan akan berakhir pada 27 September 2011,” jelas Hidayat.
Sementara untuk lumbung pangan yang dibangun dari APBD 2010 sebanyak 12 buah. Dan kesemuanya tanpa disertai dana pendampingan melainkan dari sharing desa sebesar Rp 8 juta per lumbung.

”Sementara 12 unit dengan dana dari APBD sebesar Rp 40 Juta per lumbung. Kapasitasnya pun lebih kecil yakni hanya 40 Ton. Dana sebesar ini hanya merupakan stimulan, dimana sisanya merupakan sharing dari para kelompok tani yang mengelola lumbung-lumbung tersebut,” paparnya.

Tujuan membangun lumbung desa ini didasarkankan potensi produksi gabah petani Grobogan yang cukup besar yaitu mencapai hampir 700 ribu ton setiap tahunnya. Jumlah gabah sebanyak itu bila digiling menjadi beras menjadi sekitar 450 ribu ton. Padahal, kebutuhan masyarakat hanya sekitar 232 ribu ton.

BKP mencatat Grobogan memiliki 108 lumbung desa. Kami berupaya mengaktifkan semua lumbung tersebut. Oleh sebab itu di Tahun 2010 dibangun 23 unit, dan 2011 ini juga dibangun lumbung desa dengan jumlah unit yang sama.

”Lumbung ini sendiri dibangun untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat. Sebab meski Grobogan selalu tercatat sebagai daerah surplus, tetapi sisa gabahnya lari ke luar daerah,” tandasnya.


Pemanfaatan Lumbung Desa Modern

Balai Besar Pengembangan Mekanisasi pertanian telah berpartisipasi pada Kunjungan Kerja Presiden RI dalam rangka Peresmian Pengoperasian Rice Milling Plant (RMP) dan Pemanfaatan Lumbung Desa Modern pada 15 Mei 2003 di  Cilacap, Jawa Tengah.

Kegaiatan ini bertujuan untuk memberikan dukungan serta partisipasi Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian pada pameran yang diikuti oleh beberapa instani pemerintah dan swasta , diantaranya  Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah, BPTP Jawa Tengah, dan Puslitbangtan.  Rangkaian acara kunjungan Presiden RI pada acara pengoperasian Rice Milling Plant (RMP) dan pencanangan Lumbung Padi Desa Modern, adalah: Laporan Bupati Cilacap, Gubernur Jawa Tengah, Penandatanganan MOU dengan pihak swasta yang bergerak dibidang pertanian serta perindustrian dan perdagangan, penyerahan bantuan 21 unit Rice Milling Plant (RMP) ke 7 kabupaten, yaitu : Kabupaten Cilacap (5 unit), Indramayu, Subang, Lamongan, Banyuwangi, Jember, Lombok Tengah, Musi Banyuasin dan Barito Kuala (masing-masing 2 unit).

Acara tersebut dihadiri oleh 14.500 orang kelompok tani, 3.900 pengurus KUD, 100 orang undangan serta 3.00 orang masyarakat umum, dalam partisipasinya Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian menampilkan alat dan mesin pertanian hasil penelitian / perekayasaan yang berhubungan dengan komoditas tanaman pangan, yaitu :

           1). Alat Pembuat Alur (Ridger),
           2). Mesin Penyiang Bermotor (Power Weeder), dan
           3). Alat Perajang Singkong;

Dalam pelaksanaannya, Presiden RI beserta rombongan berkesempatan mengujungi pameran dan sempat berdialog dengan petugas pameran mengenai materi yang diekspose.  Secara umum, kegiatan ekspose ini dapat dikatakan berhasil mengingat banyaknya respon yang positif dari pengunjung  dan tersebarnya informasi  hasil penelitian ke berbagai kalangan.


loading...

No comments:

Powered by Blogger.