Indonesia Berpotensi Menjadi Produsen Perikanan Terbesar di Dunia
MASIH ada asa dalam pembangunan industri perikanan di Indonesia. Sebuah artikel menarik di bawah ini membahas, bagaimana cara Indonesia mencapai tahap ke arah itu. Silahkan lihat sumbernya di sini:
Menjadikan Indonesia sebagai Produsen Perikanan Terbesar di Dunia
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Peneliti Senior pada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB
Fakta sejarah membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang maju dan makmur adalah mereka yang memiliki konsep pembangunan yang benar dan menjalankan konsep tersebut dengan etos kerja unggul dan . Pada tataran praktis, wujud dari etos kerja unggul itu adalah berupa semangat dari setiap komponen bangsa untuk menyumbangkan kemampuan terbaiknya dan saling bekerjasama secara sinergis. Sebagai bagian integral dari sistem pembangunan nasional, sektor kelautan dan perikanan yang baru lahir pada akhir 1999 (awal Kabinet Persatuan Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid) dapat memberikan kemampuan terbaiknya dengan maksud dan tujuan menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk perikanan terbesar di dunia.
Dengan menjadi produsen perikanan nomor wahid, maka kehidupan sekitar 15 juta nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil perikanan, dan pelaku usaha lain yang terkait dengan sektor perikanan akan lebih sejahtera. Lebih dari itu, perolehan devisa perikanan dan kontribusi sektor ini bagi perekonomian nasional pun akan meningkat secara signifikan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat perikanan dan kontribusi ekonomi yang signifikan itu diharapkan pula mampu menghasilkan nilai tambah dan sejumlah multiplier effects bagi perekonomian nasional. Sehingga, sektor kelautan dan perikanan dapat menjadi salah satu penghela (prime mover) pembangunan nasional untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan berdaulat pada 2025.
Hingga saat ini China merupakan produsen perikanan terbesar di dunia, dengan total produksi sekitar 55 juta ton; sebanyak 18 juta ton berasal dari usaha perikanan tangkap dan 37 juta ton dari perikanan budidaya. Peru menduduki peringkat-2 dengan total produksi sekitar 14 juta ton (FAO, 2010). Sementara itu, total produksi perikanan Indonesia pada 2009 diperkirakan sebesar 10 juta ton (KKP, 2010) yang menempatkan kita sebagai produsen perikanan terbesar ketiga di dunia. Dengan posisi pemeringkatan produksi perikanan global seperti ini, mungkinkah Indonesia menjadi produsen perikanan terbesar di dunia?.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi produksi perikanan sekitar 65,5 juta ton/tahun, dan baru dimanfaatkan sebesar 10 juta ton/tahun (15,3%), Indonesia sangat berpeluang untuk menjadi produsen perikanan nomor wahid. Bila Indonesia dapat menghasilkan total komoditas perikanan 56 juta per tahun (85% potensi produksi nasional), berarti kita sudah mengungguli China. Perlu juga dicatat, bahwa karena keterbatasan daya dukung lingkungan dan kemampuan pulih sumberdaya perikanan nya, tingkat produksi China dan Peru yang berhasil mereka capai saat ini adalah yang maksimum.
Mewujudkan impian
Tantangannya adalah bagaimana dan kapan kita bisa memproduksi hasil perikanan sebesar itu. Mengingat potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) perikanan tangkap di laut sebesar 6,4 juta ton/tahun (DKP, 2007), maka agar usaha perikanan tangkap di laut bisa menguntungkan (mensejahterakan nelayan) secara berkelanjutan, total volume produksi ikan yang boleh kita tangkap dari laut sebesar 80% MSY (5,2 juta ton/tahun). Sementara itu, MSY perikanan tangkap di perairan umum (sungai, danau, waduk, dan perairan rawa) sekitar 0,9 juta ton/tahun. Sehingga, total volume produksi ikan yang bisa kita panen dari perairan umum hanya sekitar 0,73 juta ton/tahun. Artinya sumbangan produksi total ikan dari usaha perikanan tangkap di laut dan perairan umum hanya sekitar 6 juta ton/tahun. Oleh karena itu, untuk menjadi produsen perikanan terbesar di dunia (56 juta ton/tahun), perikanan budidaya harus mampu memproduksi hasil perikanan sebesar 50 juta ton setiap tahunnya. Pada 2009, total produksi perikanan budidaya nasional baru mencapai 4,8 juta ton atau 8,3% dari total potensi produksi nya (58,2 juta ton/tahun). Produksi perikanan budidaya nasional sebesar 4,8 juta ton itu disumbangkan oleh budidaya laut sebesar 2,44 juta ton, tambak 1,18 juta ton, kolam air tawar 0,59 juta ton, karamba 0,09 juta ton, jaring apung 0,34 juta ton, dan sawah (minapadi) 0,14 juta ton. Sedangkan, potensi produksi lestari budidaya laut adalah 47 juta ton/tahun, tambak 5,5 juta ton/tahun, dan perairan tawar (kolam, karamba, jaring apung, dan sawah) 5,7 juta ton/tahun.
Atas dasar data tersebut, maka peningkatan produksi perikanan budidaya laut mesti mendapatkan prioritas utama, khususnya rumput laut jenis Euchema cotonii (caragenan). Dengan potensi produksi dan peluang pasar (market size) yang sangat besar, produksi rumput laut jenis ini bisa ditingkatkan menjadi 8 juta ton berat kering pada 2015. Produksi rumput laut jenis Gracillaria sp (agarosa) yang dibudidayakan di tambak (kolam air payau) dapat ditingkatkan menjadi 2 juta ton berat kering pada 2015. Sehingga, untuk menjadi produsen perikanan terbesar di dunia, kita harus menggenjot produksi ikan dari usaha budidaya dari yang sekarang 2,2 juta ton menjadi 40 juta ton/tahun.
Kalau peningkatan produksi rumput laut nasional dari yang sekarang 2,5 juta ton menjadi 10 juta ton pada 2015 dianggap realistis. Maka, hampir semua stakeholders perikanan memandang tidak realistis untuk target peningkatan produksi ikan budidaya dari yang sekarang 2,2 juta ton menjadi 40 juta ton (delapan belas kali lipat) pada 2015. Pasalnya, untuk menghasilkan ikan sebanyak 40 juta ton diperlukan pakan sedikitnya 60 juta ton dengan asumsi FCR (Food Coversion Ratio) yang optimis, yakni 1,5. Padahal, total produksi pakan ikan dan udang secara nasional saat ini hanya sebesar 4 juta/tahun. Belum lagi dengan kebutuhan bibit dan benih, pupuk, obat-obatan, lahan (perairan) untuk media usaha budidaya perikanan, BBM, modal, dan sarana produksi lainnya. Kita juga memerlukan infrastruktur seperti irigasi tambak, jaringan jalan, listrik, dan lainnya sesuai kebutuhan target produksi. Pasar juga merupakan faktor yang harus dipertimbangkan. Jangan seperti selama ini, kita mampu meningkatkan produksi patin, kerapu, udang, dan komiditas lainnya, tetapi kita tidak bisa memasarkannya dengan harga yang menguntungkan. Akibatnya, produsen (pembudidaya ikan) merugi, dan selanjutnya gulung tikar.
Sepanjang sejarah, Vietnam adalah satu-satunya bangsa yang mampu meningkatkan produksi perikanan budidaya rata-rata sebesar 50 persen per tahun dari tahun 2000 sampai 2005. Jika kita mengambil patokan (benchmark) Vietnam, maka pada 2015 Indonesia bisa menghasilkan ikan budidaya paling tinggi 16,7 juta ton. Dengan demikian, total produksi perikanan nasional pada 2015 yang paling optimis diperkirakan mencapai 32,6 juta ton yang berasal dari budidaya ikan 16,7 juta ton, budidaya rumput laut 10 juta ton, penangkapan ikan di laut 5,2 juta ton, dan penangkapan ikan di perairan umum (darat) 0,7 juta ton. Artinya, bila skenario ini berhasil, maka pada 2015 Indonesia bakal menjadi produsen perikanan terbesar kedua di dunia, menggeser posisi Peru, tapi masih di bawah China satu tingkat.
Dengan target produksi perikanan 32,6 juta ton pada 2015 itu saja, maka diperkirakan nilai ekspor perikanan akan meningkat menjadi US$ 7 dari US$ 2,3 milyar pada 2009. Devisa sebesar itu melebihi seluruh nilai ekspor TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) kita saat ini. Sumbangan sektor perikanan terhadap PDB juga diperkirakan meningkat menjadi sekitar 9 persen dari 2,2 persen saat ini. Jika dikelola dengan menerapkan azas efisiensi, pemerataan, dan ramah lingkungan, maka kesejahteraan para nelayan, pembudidaya ikan, dan pengusaha perikanan lainnya pun akan membaik secara siginifikan dan berkelanjutan. Dan, pada 2025 Indonesia akan menjadi produsen perikanan terbesar di dunia.
Untuk itu, kita harus menerapkan teknologi mutakhir pada setiap mata rantai dari supply chain management system perikanan. Best practices perikanan budidaya (perbenihan, pakan, pengendalian hama dan penyakit, manajemen kualitas air dan tanah, dan pond engineering) dan perikanan tangkap (teknologi penangkapan ikan yang efisien dan ramah lingkungan) harus diterapkan pada setiap unit bisnis perikanan yang memenuhi economy of scale. Industri pengolahan hasil perikanan dan bioteknologi kelautan harus terus diperkuat dan dikembangkan guna meningkatkan nilai tambah dan multiplier effects. Selain meningkatkan daya saing produk perikanan nasional, kita juga harus melindungi pasar domestik dari gempuran perdagangan bebas yang tidak adil. Kita mesti mengembangkan jaringan pemasaran produk perikanan Indonesia di pasar domestik maupun di pasar global. Infrastruktur jalan yang menghubungkan sentra-sentra produksi perikanan ke pabrik-pabrik pengolahan hasil perikanan, pasar ikan, dan pelabuhan antar pulau maupun pelabuhan ekspor harus segera diperbaiki dan dibangun yang baru. Infrastruktur lainnya seperti jaringan listrik, telekomunikasi, jaringan irigasi tambak, dan air bersih juga harus diadakan di sentra-sentra produksi perikanan.
Tata ruang wilayah harus mendukung tumbuh-kembangnya usaha perikanan budidaya maupun perikanan tangkap. Pengendalian pencemaran harus diperketat, sehingga kualitas perairan dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan serta biota perairan lainnya. Program penelitian dan pengembangan harus terus ditingkatkan agar kita bisa menguasai dan menerapkan teknologi di setiap mata rantai sistem binis perikanan, sehingga bisa lebih produktif, berdaya saing, dan berkelanjutan. Kualitas SDM perikanan juga secara sistemik harus terus ditingkatkan melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara terpadu. Sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Malaysia, Thailand, Vitenamn, China, dan emerging economies lainnya, Indonesia harus segera menurunkan suku bunga pinjaman setaraf dengan negara-negara tersebut dan membuka akses kredit perbankan seluas-luasnya bagi pengusaha perikanan nasional.
Akhirnya, iklim investasi seperti perizinan, perpajakan, ketenagakerjaan, konsistensi kebijakan pemerintah, keamanan berusaha, dan penegakkan hukum harus segera dibuat atraktif dan nyaman bagi para investor. Ekonomi biaya tinggi akibat praktik KKN yang kian marak terjadi di lembaga pemerintahan, legislatif, dan yudikatif dari pusat hingga ke daerah harus segera ditumpas sampai ke akar-akarnya.
Menjadikan Indonesia sebagai Produsen Perikanan Terbesar di Dunia
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Peneliti Senior pada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB
Fakta sejarah membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang maju dan makmur adalah mereka yang memiliki konsep pembangunan yang benar dan menjalankan konsep tersebut dengan etos kerja unggul dan . Pada tataran praktis, wujud dari etos kerja unggul itu adalah berupa semangat dari setiap komponen bangsa untuk menyumbangkan kemampuan terbaiknya dan saling bekerjasama secara sinergis. Sebagai bagian integral dari sistem pembangunan nasional, sektor kelautan dan perikanan yang baru lahir pada akhir 1999 (awal Kabinet Persatuan Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid) dapat memberikan kemampuan terbaiknya dengan maksud dan tujuan menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk perikanan terbesar di dunia.
Dengan menjadi produsen perikanan nomor wahid, maka kehidupan sekitar 15 juta nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil perikanan, dan pelaku usaha lain yang terkait dengan sektor perikanan akan lebih sejahtera. Lebih dari itu, perolehan devisa perikanan dan kontribusi sektor ini bagi perekonomian nasional pun akan meningkat secara signifikan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat perikanan dan kontribusi ekonomi yang signifikan itu diharapkan pula mampu menghasilkan nilai tambah dan sejumlah multiplier effects bagi perekonomian nasional. Sehingga, sektor kelautan dan perikanan dapat menjadi salah satu penghela (prime mover) pembangunan nasional untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan berdaulat pada 2025.
Hingga saat ini China merupakan produsen perikanan terbesar di dunia, dengan total produksi sekitar 55 juta ton; sebanyak 18 juta ton berasal dari usaha perikanan tangkap dan 37 juta ton dari perikanan budidaya. Peru menduduki peringkat-2 dengan total produksi sekitar 14 juta ton (FAO, 2010). Sementara itu, total produksi perikanan Indonesia pada 2009 diperkirakan sebesar 10 juta ton (KKP, 2010) yang menempatkan kita sebagai produsen perikanan terbesar ketiga di dunia. Dengan posisi pemeringkatan produksi perikanan global seperti ini, mungkinkah Indonesia menjadi produsen perikanan terbesar di dunia?.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi produksi perikanan sekitar 65,5 juta ton/tahun, dan baru dimanfaatkan sebesar 10 juta ton/tahun (15,3%), Indonesia sangat berpeluang untuk menjadi produsen perikanan nomor wahid. Bila Indonesia dapat menghasilkan total komoditas perikanan 56 juta per tahun (85% potensi produksi nasional), berarti kita sudah mengungguli China. Perlu juga dicatat, bahwa karena keterbatasan daya dukung lingkungan dan kemampuan pulih sumberdaya perikanan nya, tingkat produksi China dan Peru yang berhasil mereka capai saat ini adalah yang maksimum.
Mewujudkan impian
Tantangannya adalah bagaimana dan kapan kita bisa memproduksi hasil perikanan sebesar itu. Mengingat potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) perikanan tangkap di laut sebesar 6,4 juta ton/tahun (DKP, 2007), maka agar usaha perikanan tangkap di laut bisa menguntungkan (mensejahterakan nelayan) secara berkelanjutan, total volume produksi ikan yang boleh kita tangkap dari laut sebesar 80% MSY (5,2 juta ton/tahun). Sementara itu, MSY perikanan tangkap di perairan umum (sungai, danau, waduk, dan perairan rawa) sekitar 0,9 juta ton/tahun. Sehingga, total volume produksi ikan yang bisa kita panen dari perairan umum hanya sekitar 0,73 juta ton/tahun. Artinya sumbangan produksi total ikan dari usaha perikanan tangkap di laut dan perairan umum hanya sekitar 6 juta ton/tahun. Oleh karena itu, untuk menjadi produsen perikanan terbesar di dunia (56 juta ton/tahun), perikanan budidaya harus mampu memproduksi hasil perikanan sebesar 50 juta ton setiap tahunnya. Pada 2009, total produksi perikanan budidaya nasional baru mencapai 4,8 juta ton atau 8,3% dari total potensi produksi nya (58,2 juta ton/tahun). Produksi perikanan budidaya nasional sebesar 4,8 juta ton itu disumbangkan oleh budidaya laut sebesar 2,44 juta ton, tambak 1,18 juta ton, kolam air tawar 0,59 juta ton, karamba 0,09 juta ton, jaring apung 0,34 juta ton, dan sawah (minapadi) 0,14 juta ton. Sedangkan, potensi produksi lestari budidaya laut adalah 47 juta ton/tahun, tambak 5,5 juta ton/tahun, dan perairan tawar (kolam, karamba, jaring apung, dan sawah) 5,7 juta ton/tahun.
Atas dasar data tersebut, maka peningkatan produksi perikanan budidaya laut mesti mendapatkan prioritas utama, khususnya rumput laut jenis Euchema cotonii (caragenan). Dengan potensi produksi dan peluang pasar (market size) yang sangat besar, produksi rumput laut jenis ini bisa ditingkatkan menjadi 8 juta ton berat kering pada 2015. Produksi rumput laut jenis Gracillaria sp (agarosa) yang dibudidayakan di tambak (kolam air payau) dapat ditingkatkan menjadi 2 juta ton berat kering pada 2015. Sehingga, untuk menjadi produsen perikanan terbesar di dunia, kita harus menggenjot produksi ikan dari usaha budidaya dari yang sekarang 2,2 juta ton menjadi 40 juta ton/tahun.
Kalau peningkatan produksi rumput laut nasional dari yang sekarang 2,5 juta ton menjadi 10 juta ton pada 2015 dianggap realistis. Maka, hampir semua stakeholders perikanan memandang tidak realistis untuk target peningkatan produksi ikan budidaya dari yang sekarang 2,2 juta ton menjadi 40 juta ton (delapan belas kali lipat) pada 2015. Pasalnya, untuk menghasilkan ikan sebanyak 40 juta ton diperlukan pakan sedikitnya 60 juta ton dengan asumsi FCR (Food Coversion Ratio) yang optimis, yakni 1,5. Padahal, total produksi pakan ikan dan udang secara nasional saat ini hanya sebesar 4 juta/tahun. Belum lagi dengan kebutuhan bibit dan benih, pupuk, obat-obatan, lahan (perairan) untuk media usaha budidaya perikanan, BBM, modal, dan sarana produksi lainnya. Kita juga memerlukan infrastruktur seperti irigasi tambak, jaringan jalan, listrik, dan lainnya sesuai kebutuhan target produksi. Pasar juga merupakan faktor yang harus dipertimbangkan. Jangan seperti selama ini, kita mampu meningkatkan produksi patin, kerapu, udang, dan komiditas lainnya, tetapi kita tidak bisa memasarkannya dengan harga yang menguntungkan. Akibatnya, produsen (pembudidaya ikan) merugi, dan selanjutnya gulung tikar.
Sepanjang sejarah, Vietnam adalah satu-satunya bangsa yang mampu meningkatkan produksi perikanan budidaya rata-rata sebesar 50 persen per tahun dari tahun 2000 sampai 2005. Jika kita mengambil patokan (benchmark) Vietnam, maka pada 2015 Indonesia bisa menghasilkan ikan budidaya paling tinggi 16,7 juta ton. Dengan demikian, total produksi perikanan nasional pada 2015 yang paling optimis diperkirakan mencapai 32,6 juta ton yang berasal dari budidaya ikan 16,7 juta ton, budidaya rumput laut 10 juta ton, penangkapan ikan di laut 5,2 juta ton, dan penangkapan ikan di perairan umum (darat) 0,7 juta ton. Artinya, bila skenario ini berhasil, maka pada 2015 Indonesia bakal menjadi produsen perikanan terbesar kedua di dunia, menggeser posisi Peru, tapi masih di bawah China satu tingkat.
Dengan target produksi perikanan 32,6 juta ton pada 2015 itu saja, maka diperkirakan nilai ekspor perikanan akan meningkat menjadi US$ 7 dari US$ 2,3 milyar pada 2009. Devisa sebesar itu melebihi seluruh nilai ekspor TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) kita saat ini. Sumbangan sektor perikanan terhadap PDB juga diperkirakan meningkat menjadi sekitar 9 persen dari 2,2 persen saat ini. Jika dikelola dengan menerapkan azas efisiensi, pemerataan, dan ramah lingkungan, maka kesejahteraan para nelayan, pembudidaya ikan, dan pengusaha perikanan lainnya pun akan membaik secara siginifikan dan berkelanjutan. Dan, pada 2025 Indonesia akan menjadi produsen perikanan terbesar di dunia.
Untuk itu, kita harus menerapkan teknologi mutakhir pada setiap mata rantai dari supply chain management system perikanan. Best practices perikanan budidaya (perbenihan, pakan, pengendalian hama dan penyakit, manajemen kualitas air dan tanah, dan pond engineering) dan perikanan tangkap (teknologi penangkapan ikan yang efisien dan ramah lingkungan) harus diterapkan pada setiap unit bisnis perikanan yang memenuhi economy of scale. Industri pengolahan hasil perikanan dan bioteknologi kelautan harus terus diperkuat dan dikembangkan guna meningkatkan nilai tambah dan multiplier effects. Selain meningkatkan daya saing produk perikanan nasional, kita juga harus melindungi pasar domestik dari gempuran perdagangan bebas yang tidak adil. Kita mesti mengembangkan jaringan pemasaran produk perikanan Indonesia di pasar domestik maupun di pasar global. Infrastruktur jalan yang menghubungkan sentra-sentra produksi perikanan ke pabrik-pabrik pengolahan hasil perikanan, pasar ikan, dan pelabuhan antar pulau maupun pelabuhan ekspor harus segera diperbaiki dan dibangun yang baru. Infrastruktur lainnya seperti jaringan listrik, telekomunikasi, jaringan irigasi tambak, dan air bersih juga harus diadakan di sentra-sentra produksi perikanan.
Tata ruang wilayah harus mendukung tumbuh-kembangnya usaha perikanan budidaya maupun perikanan tangkap. Pengendalian pencemaran harus diperketat, sehingga kualitas perairan dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan serta biota perairan lainnya. Program penelitian dan pengembangan harus terus ditingkatkan agar kita bisa menguasai dan menerapkan teknologi di setiap mata rantai sistem binis perikanan, sehingga bisa lebih produktif, berdaya saing, dan berkelanjutan. Kualitas SDM perikanan juga secara sistemik harus terus ditingkatkan melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara terpadu. Sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Malaysia, Thailand, Vitenamn, China, dan emerging economies lainnya, Indonesia harus segera menurunkan suku bunga pinjaman setaraf dengan negara-negara tersebut dan membuka akses kredit perbankan seluas-luasnya bagi pengusaha perikanan nasional.
Akhirnya, iklim investasi seperti perizinan, perpajakan, ketenagakerjaan, konsistensi kebijakan pemerintah, keamanan berusaha, dan penegakkan hukum harus segera dibuat atraktif dan nyaman bagi para investor. Ekonomi biaya tinggi akibat praktik KKN yang kian marak terjadi di lembaga pemerintahan, legislatif, dan yudikatif dari pusat hingga ke daerah harus segera ditumpas sampai ke akar-akarnya.
loading...
No comments: